Terdepan dalam memberikan solusi bagi masyarakat dengan menjadi konsultan muamalah sesuai dengan kebutuhannya. Dilengkapi dengan sharia advisor yang expertise pada bidangnya dengan melihat sebuah masalah secara objektif dan memberikan solusi bukan berdasarkan asumsi. Menggunakan pendekatan holistic understanding (logis) dalam perkara muamalah dengan tetap memperhatikan koridor pada Al Quran maupun As Sunnah.
PRODUK
Pengawas Syariah (Freelance)
Jasa Pengawas Syariah untuk Perusahaan berbasi syariah dengan pembayaran per tahun
Pengawas Syariah (Reguler)
Jasa Pengawas Syariah untuk Perusahaan berbasi syariah dengan pembayaran per bulan
Konsultasi Muamalah
Diskusi langsung dengan Sharia Advisor kami selama 30 menit – 1 jam offline/online.
Akad Muamalah
Pendampingan akad, review akad, dan drafting akad untuk personal maupun skala bisnis.
Pelatihan Karyawan
Beragam tema tentang keuangan maupun manajemen menyesuaikan kebutuhan perusahaan.
Kerja Sama
Bantu proses Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan beragam LKS (Bank, BPRS, Koperasi, SCF, dsb)
Sharia System
Full Convert Developer Anda menjadi Developer dengan manajemen berbasi syariah secara keseluruhan.
Training KPR
Pembekalan materi secara langsung kepada team/karyawan tentang KPR Syariah di Bank.
Masa Persiapan Pensiun
Pelopor program Masa Persiapan Pensiun berbasi Syariah di Indonesia dengan pemateri yang expert.
Konsultan Koperasi
Bantu pembuatan manajemen Koperasi syariah dari awal hinnga bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Konsultan BPRS
Membuat sistem manajemen sesuai standar syariah hingga dapat operasional sesuai aturan BPRS.
Konsultan Waris
Menjawab kebutuhan masyarakat untuk pembagian waris sesuai aturan Islam. Bisa secara offline/online.
EKOSISTEM KLIEN
ARTIKEL MUAMALAH
MENGENAL RIBA AL QARDH (RIBA DALAM HUTANG PIUTANG) Riba dalam hutang piutang di sini sebenarnya dapat digolongkan sebagai riba nasi’ah. Yang dimaksud dengan riba al qardh dapat dicontohkan dengan meminjamkan uang seratus ribu kemudian diharuskan mengambil keuntungan ketika mengembalikannya. Manfaat tersebut dapat berupa materi atau jasa. Itu semua adalah riba dan pada hakikatnya tidak termasuk pinjammeminjam. Sebab yang namanya peminjaman adalah dalam rangka membantu dan berbuat baik. Jadi – sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di – jika berupa hutang piutang yang didalamnya terdapat keuntungan, maka sama saja dengan menukarkan dirham dengan dirham atau rupiah dengan rupiah lalu keuntungannya ditunda. (Lihat Fiqh wa Fatal Al Buyu’, 10) Para ulama telah memberikan kaidah yang harus kita perhatikan mengenai hutang piutang. Cara yang dimaksud adalah: “Setiap piutang yang mendatangkan manfaat (keuntungan), adalah riba.”(Lihat Al Majmu’ Al Fatawa, 29/533; Fathul Wahaab, 1/327; Fathul Mu’in, 3/65; Subulus Salam, 4/97) Para ulama sepakat, jika orang yang memberi hutang mengharuskan orang yang berhutang untuk memberikan tambahan, kemudian dia juga memenuhi syarat-syarat tersebut, maka mengambil tambahan tersebut adalah riba.” Lalu mengapa bentuk keuntungan yang diperoleh dari hutang piutang ini dilarang? Ibnu Qudamah berkata, “Karena hutang piutang merupakan bentuk tolong-menolong dan berbuat baik. Jika ada syarat tambahan ketika melunasi hutang, maka itu di luar tujuan utama meminjam (yakni membantu).” (Lihat Al Mughni , 9/104). Begitu pula kenapa mengambil keuntungan dalam Hutang piutang itu terlarang? Hal ini dikarenakan ada sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh ada piutang bersamaan dengan jual beli (mencari keuntungan).” (HR. Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasaa’i. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) Kami Sudah Saling Ridho Jika ada yang mengatakan, “Kami diberi tambahan pelunasan utang sesuai kebutuhan karena sama-sama ridho (alias saling suka). Lalu kenapa harus dilarang?” Ada dua sanggahan terhadap hal ini: ini sebenarnya masih tetap dikatakan suatu kezholiman karena di dalamnya terdapat pengambilan harta tanpa melalui jalur yang dibenarkan. Jika seseorang yang berhutang telah masuk masa jatuh tempo pelunasan dan belum mampu melunasi hutangnya, maka seharusnya orang yang menghutangi memberikan tenggang waktu lagi tanpa harus ada tambahan karena adanya penundaan. Jika orang yang menghutangi mengambil tambahan tersebut, ini berarti dia mengambil sesuatu tanpa melalui jalur yang dibenarkan. Jika orang yang berhutang tetap ridho menyerahkan tambahan tersebut, maka ridho mereka pada sesuatu yang syari’at ini tidak ridhoi tidak dibenarkan. Jadi, ridho dari orang yang berhutang tidaklah teranggap sama sekali. Pada hakikat senyatanya, hal ini bukanlah ridho, namun semi pemaksaan. Orang yang menghutangi (creditor) sebenarnya takut jika orang yang berhutang tidak ikut dalam mu’amalah riba semacam ini. Ini adalah ridho, namun senyatanya bukan ridho. (Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di –rahimahullah- dalam Fiqh wa Fatawa Al Buyu’, 10) Jika seseorang meninggalkan berbagai bentuk riba muamalah di atas dan menggantinya dengan jual beli yang diridhai Allah, niscaya ia akan mendapatkan ganti rugi yang lebih baik. Sumber : https://pengusahamuslim.com/
MODAL USAHANYA DARI BANK, HASILNYA HARAM? Praktek riba merupakan dosa yang sangat besar. Riba menjadi penyebab hilangnya keberkahan karena riba merupakan perusak. Ibnu Qudamah (682 H) berkata: “Setiap piutang yang disyaratkan didalamnya sebuah tambahan maka itu adalah haram tanpa ada perselisihan.” (Asy-syarhul kabir: 4/360) Banyak dalil yang menunjukkan bahwa riba itu haram dan berbahaya, beberapa di antaranya dapat dibaca dalam kitab Al Kabair (dosa besar) karya Imam Adz-Dzahabi (748 H), dosa besar ke-10. Oleh karena itu haram bagi kita semua untuk melakukan transaksi riba, baik sebagai pemberi maupun sebagai penerima. Keduanya sama dalam dosa, karena keduanya telah melakukan transaksi yang diharamkan. Maka hendaknya segera bertaubat kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Menerima taubat dan Maha Penyayang. Berdasarkan hal di atas, meminjam modal usahanya dari bank dengan menggunakan riba, apapun tujuannya, adalah haram dan pelakunya berhak menerima ancaman yang disebutkan dalam Alquran dan hadis. Dan adapun keuntungan yang dihasilkan dari usaha yang modal usahanya dari bank, hukumnya berkaitan dengan halal atau haramnya usaha yang dibangun. Selama modal usahanya dari bank usaha yang dijalankannya haram, dan sebaliknya modal usahanya halal maka hasilnya pun halal. Uang riba merupakan uang tambahan dari pokok utang yang diberikan kepada pemberi pinjaman. Oleh karena itu, taubatnya peminjam yang memberi tambahan riba tidak perlu mengeluarkan apapun karena dia tidak mengambil riba, tetapi dialah pemberi riba. Namun jika ia belum menggunakan modal usahanya dari bank yang dipinjamnya dengan akad riba, hendaknya ia segera mengembalikannya untuk membatalkan transaksi tersebut. Dan jika dia telah menggunakan uang itu maka itu menjadi tanggung jawabnya sebagai pinjaman dan jika memungkinkan, dia tidak boleh membayar kecuali pokok hutangnya, yaitu tanpa membayar bunganya karena itu adalah riba. Dan lebih baik segera melunasinya agar cepat terbebas dari transaksi haram. Sumber : https://pengusahamuslim.com/
Bagi seorang manusia pada umumnya kekayaan merupakan tujuan utama hidup dan kehidupannya. Sejak bangun hingga tidur kembali, banyak orang yang hanya fokus pada kekayaan. Tentang cara mendapatkan kekayaan, tentang cara menjaga harta yang sudah dimiliki, tentang cara mengembangkan harta yang sudah dimiliki. Begitu seterusnya dari berbagai cabang pemikiran tentang kekayaan. Sehingga seluruh gerak hidupnya hanya terfokus pada kekayaan dan kekayaan. Tak terkecuali kita yang mengaku sebagai pengusaha muslim, seringkali kita terbawa oleh pemikiran seperti itu. Meski kita tahu bahwa hidup kita hanya sementara dan tidak akan mendatangkan kekayaan, namun hati kita masih sering terfokus pada salah satu perhiasan dunia. Laa haula wa laa quwwata illaa billaah Wahai saudaraku pengusaha muslim. Mungkin sudah saatnya kita sebagai pengusaha muslim memikirkan kembali apa tujuan hidup kita? Benarkah Anda murni menjalankan tugas sebagai hamba Tuhan? Ataukah Anda telah berubah menjadi hamba harta dan perhiasan dunia? Apakah harta yang kita peroleh bisa menjadi sarana kita menuju surga, atau malah menjadi tujuan utama hidup dan keberadaan kita? Apakah harta benda adalah budak kita, ataukah kita budak dunia? Mari kita introspeksi. Lihatlah diri kita sendiri. Apakah ibadah kita terhambat karena sibuk mencari harta duniawi? Apakah waktu menuntut ilmu terhapus dan digantikan dengan segala macam aktivitas mencari nafkah? Dan seterusnya, coba tanyakan kepada kita masing-masing! Dan jika jawabannya “iya”, maka pikirkanlah peringatan Allah dalam Al-Qur’an: “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (QS al-Munafiqun ayat 9) Allah telah memperingatkan kita untuk tidak lengah dalam mengejar harta duniawi. Apa yang sebenarnya akan kita tinggalkan, tidak akan kita bawa sepeser pun ke alam kubur. Maka sisihkan waktu kita untuk beribadah, jangan menjadi hamba yang lalai mengingat Allah karena mencari harta Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan dan keberkahan usaha dan kehidupan kita semua. Sumber : https://pengusahamuslim.com/
- Ruko Al Amin Lt .2, Jl. Letjen Ibrahim Adjie, Sindangbarang, Kec. Bogor Bar., Kota Bogor, Jawa Barat 16610
- e-mail almaliacredco@gmail.com | Operasional 08.00 - 17.00 (ahad/tanggal merah libur)